Jumat, 25 Oktober 2013

      ROMI ANDRIAN


A. Pendahuluan
Kebanyakan pakar dalam mengupas hubungan ilmu bahasa dan filsafat selalu menempatkan filsafat kedalam posisi yang prestisius. Hal ini tidaklah aneh mengingat filsafat adalah roh dari semua ilmu termasuk ilmu bahasa. Kajian bahasa pertama kalipun justru dilakukan oleh filosof dan bukan oleh ahli bahasa. Pada jaman dulu, para filosof memecahkan berbagai macam problem filsafat melalui pendekatan analisis bahasa. Sebagai contoh problem filsafat yang menyangkut pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan mendasar seperti yang ada, reality, eksistensi, sensi substansi, materi, bentuk kausalitas, makna pernyataan dan verifikasinya (Katsoff, 1989:48-63) dan pertanyaan-peranyaan fundamental lainnya dapat dijelaskan dengan menggunakan analisis data bahasa. Tradisi ini oleh para ahli sejarah filsafat disebut sebagai Filsafat Analitik, yang berkembang di Eropa terutama di Inggris abad XX.
Semua ahli filsafat sepakat bahwa ada hubungan yang sangat erat antara filsafat dan bahasa terutama yang berhubungan dengan peran pokok filsafat sebagai analisator konsep-konsep. Konsep-konsep yang dianalisa filsafat memiliki raga kuat karena berbentuk istilah-istilah bahasa dan karenanya, tidak bisa tidak, filosof harus memahami makna “apa itu bahasa” yang selalu digunakan dalam memahami konsep-konsep tersebut.
Sejak zaman Yunani kuno, sudah muncul paham Phusis yang menyatakan bahwa bahasa bersifat alamiah (fisei atau fisis), yaitu bahasa mempunyai hubungan dengan asal-usul, sumber dalam prinsip-prinsip abadi dan tidak dapat diganti di luar manusia itu sendiri dan karena itu tidak dapat ditolak.
Dengan demikian dalam bahasa ada keterkaitan antara kata dan alam. Tokoh paham natural ini diantaranya Cratylus dalam Dialog Pluto (Solikhan, 2008:55)
Paham naturalis ini mendapat penentangan dari paham Thesis yang berpendapat bahwa bahasa bersifat konvensi (nomos). Bahasa diperoleh dari hasil-hasil tradisi, kebiasaan berupa tacit agreement (persetujuan diam). Bahasa bukan pemberian Tuhan, melainkan bersifat konvensional. Pendapat ini diwakili oleh Hermoganes dalam Dialog Pluto (Kaelan, 1998:29)
Dikotomi spekulatif tentang hakikat bahasa fusie dan nomos merupakan pusat perhatian filosof pada saat itu. Demikian juga dikotomi analogi dan anomali merupakan diskursus filosofis yang mendasar mengingat bahasa merupakan sarana utama dalam filsafat terutama dalam logika. Golongan analogi yang dianut kelompok Plato dan Aristoteles mengatakan bahwa alam ini memiliki keteraturan demikian juga manusia yang terefleksi dalam bahasa. Oleh karena itu bahasa memiliki keteraturan dan disusun secara teratur. Sebaliknya, kaum Anomalis berpendapat bahwa bahasa tidak memiliki keteraturan. Mereka mununjukkan bukti kenyataan sehari-hari mengapa ada kata yang bersifat sinonim, dan homonim, mengapa ada unsur kata yang bersifat netral, dan jika bahasa itu bersifat universal seharusnya kekacauan itu dapat diperbaiki. Dalam pengertian inilah bahasa pada hakekatnya bersifat alamiah (Parera dalam Solikhan,    2008: 55).
Perbedaan-perbedaan perspektif  tentang bahasa dan segala hal yang berkaitan namun tetap berada dalam payung bahasa, yang dilakukan oleh para filosof ternyata memiliki kontribusi yang demikian besar terhadap kemajuan dari ilmu bahasa. Perbedaan-perbedaan ini memunculkan adanya diskusi, dialog, bahkan debat. Diskusi, dialog, dan  dan debat inilah yang menyuntikkan darah segar pada para filosof untuk selalu melahirkan  inovasi-inovasi dan revisi-revisi terhadap teori lama yang berkenaan dengan bahasa. Dimulai dengan dimunculkannya filsafat bahasa oleh para filosof yaitu pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat bahasa, sebab, asal dan hukumnya (yang kemudian menjadi embrio dari lahirnya ilmu bahasa atau linguistik) (Sallyanti, 2004:1), maka lahirlah ilmu bahasa atau linguistik yang kita kenal dewasa ini.
Artikel ini secara khusus berusaha menjelaskan tentang apa kontribusi dari filsafat dalam mengembangkan linguistik. Untuk mempermudah paparan tersebut, maka artikel ini disusun menjadi beberapa bagian yaitu: (a)  pendahuluan, (b) hakikat bahasa dalam tinjauan filsafat, (c) peranan filsafat dalam mengembangkan ilmu bahasa, (d) simpulan dan penutup.

B. Esensi dan Hakikat Bahasa dalam Tinjauan Filsafat
B.1. Esensi Bahasa
Orang-orang Yunani kuno dan orang-orang kuno lainnya mempunya bakat ingin mengetahui hal-hal yang oleh orang-orang lain dianggap sebagaimana semestinya. Dengan berani dan gigih, mereka membuat spekulasi mengenai definisi, asal mula, sejarah, dan struktur bahasa. Pengetahuan tradisional kita mengenai bahasa sebagian besar adalah berkat mereka (Bloomfield, 1995:2).
Keingin tahuan ini terlihat dari apa yang disampaikan Herodotus, yang menulis pada abad kelima sebelum Masehi, ia menuliskan bahwa Raja Psammetichus di Mesir pernah mengasingkan dua orang bayi yang baru lahir di sebuah taman, untuk mengetahui mana bangsa dan bahasa tertua di dunia.
Ketika bayi-bayi tersebut mulai berbicara, mereka mengucapkan kata bekos, yang ternyata dari bahasa Frigia yang berarti “roti” (Yule, 1985: 2)
Penelitian-penelitian seperti yang dilakukan Raja Psammetichus ini melahirkan beberapa pengetahuan baru tentang bahasa, yang kadang dari pengetahuan ini memunculkan adanya perdebatan. Bagi Raja Psammetichus, berdasarkan hasil penelitiannya ia menjumpai bahwa ternyata bangsa dan bahasa tertua adalah bangsa dan bahasa Frigia. Namun bagi peneliti-peneliti kuno lainnya belum tentu demikian. Raja James IV of Scotland 1500 M berdasarkan hasil penelitiannya yang serupa menyebutkan bahwa bahasa Ibranilah sebagai bahasa tertua di dunia. (Yule, 1985: 2)
Raja Psammetichus dan dan Raja James IV tidak memiliki hubungan kekerabatan yang dekat karena hal itu tidaklah mungkin. Kedua raja tersebut hidup di dua era berbeda dan di wilayah yang berbeda pula. Psammetichus tinggal di Yunani dan hidup sebelum masehi sedangkan James IV tinggal di Britania Raya jauh setelah Masehi. Yang membuat mereka sama adalah, dua tokoh ini dikenal memiliki ketertarikan kuat terhadap misteri bahasa. Ketertarikan ini muncul akibat dari kuatnya pengaruh filsafat yang menjadi pegangan hidup mereka.
Beberapa definisi bahasa tercipta dari hasil pemikiran dan penelitian para filosof kuno ini. Sebagian besar filosof tersebut sependapat bahwa bahasa adalah sistem tanda. Dikatakan bahwa manusia hidup dalam tanda-tanda yang mencakup segala segi kehidupan manusia, misalnya bangunan, kedokteran, kesehatan, geografi, dan sebagainya.  Definisi bahasa yang lain seperti yang diungkapkan Plato lewat Socrates: “Bahasa adalah pernyataan pikiran seseorang dengan perantaraan onomata dan rhemata yang merupakan cerminan dari ide seseorang dalam arus udara lewat mulut”.

B.2 Hakikat Bahasa
Dalam dialog Cratylusnya, Plato membicarakan asal mula kata, dan khususnya soal apakah hubungan kata-kata dengan benda yang dirujuknya adalah alami ataukah hanya merupakan hasil kesepakatan saja. Dialog itu memberikan kepada kita kilasan pertama ke dalam perselisihan yang telah berlangsung satu abad antara kaum Analogis dan Anomalis (Bloomfield, 1995:2).
Bagaimanapun sengitnya perdebatan antara dua kubu tersebut, pemikiran-pemikiran yang muncul tentang bahasa menyadarkan kepada para filosof bahwa bentuk-bentuk bahasa berubah dalam perjalanan waktu. Secara perlahan namun pasti, mereka akhirnya menemukan hakikat sejati dari bahasa yang terefleksikan lewat wujud-wujud dan perubahannya. Di bawah ini adalah beberapa hakikat bahasa yang telah ditemukan oleh para filosof. Sebenarnya ada banyak sekali hakikat bahasa yang telah ditemukan, namun penulis membatasinya menjadi lima saja.

(a) Bahasa Sebagai Sistem
Hakikat ini sebenarnya telah diyakini oleh pengikut paham anomalis namun hakikat ini menjadi jelas setelah Kaum Sofis pada abad ke-5 merumuskan kesistematisan bahasa secara empirik. Salah satu tokoh dari kaum Sofis adalah Pitagoras. Ia membedakan tipe-tipe kalimat atas: narasi, pertanyaan, jawaban, perintah, laporan, doa dan undangan. (Parera, 1991:36-37).
Plato juga menegaskan kesistematisan bahasa dengan memberikan perbedaan kata dalam Onoma dan Rhema. Onoma dapat berarti nama atau nomina, dan subyek. Rhema dapat berarti frasa, verba, dan predikat. Onoma dan Rhema merupakan anggota dari logos yang berarti kalimat atau frasa atau klausa (Parera, 1991:37).
Ide bahwa bahasa memiliki sistem juga didukung oleh Aristoteles. Sejalan dengan pendahulunya Plato, ia tetap membedakan dua kelas yakni Onoma dan Rhema, tetapi ia menambahkan satu lagi yang disebut Syndesmoi. Syndesmoi ini kemudian digolongkan ke dalam “penghubung partikel”. Kata-kata lebih banyak bertugas dalam hubngan sintaksis. Aristoteles selalu bertolak dari logika. Ia memberikan pengertian, definisi, dan makna dari sudut pandang logika.
Selain membedakan Onoma, Rhema, dan Syndesmoi, Aristoteles juga membedakan jenis kelamin kata (Gender). Ia membedakan tiga jenis kelamin kata atas maskulin, feminin dan neuter atau netral. Ia juga mengakui bahwa rhema menunjukkan pula pada tense atau waktu, yaitu Rhema dapat menunjukkan apakah pekerjaan telah selesai, belum selesai dan sebagainya (Parera, 1991:37).
Keyakina bahwa bahasa merupakan sebuah sistem diyakini kebenaranya hingga sekarang terutama oleh para ahli linguistik. Banyak aliran-aliran yang pada intinya menganalisa sistem-sistem dalam bahasa bermunculan dan memperkaya keragaman linguistik.

(b) Bahasa Sebagai Lambang
Eaerns Cassirer, seorang sarjana dan seorang filosof mengatakan bahwa manusia adalah mahluk bersimbol (animal symbolicum). Hampir tidak ada kegiatan yang tidak terlepas dari simbol atau lambang. Termasuk alat komunikasi verbal yang disebut bahasa. Satuan-satuan bahasa misalnya kata adalah simbol atau lambang (Chaer, 2007:39). Kalau ide atau konsep untuk menyatakan kematian adalah bendera hitam (dalam bentuk tanda), dan ide atau konsep ketuhanan dilambangkan dengan gambar bintang (dalam bentuk gambar), maka lambang-lambang bahasa diwujudkan dalam bentuk bunyi, yang berupa satuan-satuan bahasa, seperti kata atau gabungan kata yang sifatnya arbriter. Dalam bahasa Indonesia, binatang berkaki empat yang bisa dikendarai  dilambangkan dengan bunyi [kuda], dalam bahasa Inggris berupa bunyi yang ditulis horse dan dalam bahasa Belanda berupa bunyi yang ditulis paard.

(c) Bahasa Adalah Bunyi
Hakikat bahasa sebagai bunyi di kupas dengan seksama oleh Kaum Stoik. Kaum Stoik merupakan kelompok filosof atau logikus yang berkembang pada permulaan abad ke-4 SM. Kontribusi mereka cukup besar dalam menganalisis bahasa, walaupun mereka belum lepas dari pandangan logika.
Kaum ini membicarakan bentuk-bentuk bermakna bahasa dengan cara membedakan tiga aspek utama dari bahasa yaitu (1) tanda atau simbol yang disebut semainon, dan ini adalah bunyi atau materi bahasa (2) makna, atau apa yang disebut lekton dan (3) hal-hal eksternal yang disebut benda atau situasi itu atau apa yang disebut sebagai pragma (Parera, 1991:38).
Kaum ini memiliki ketertarikan yang sangat tinggi pada bunyi atau phone, dan mereka membedakan antara legein, yaitu tutur bunyi yang mungkin merupakan bagian dari fonologi sebuah bahasa namun tidak bermakna, dan propheretai atau ucapan bunyi bahasa yang memiliki makna

(d) Bahasa itu Bermakna
Penelitian sitematis tentang konsep  ”bahasa itu bermakna” juga dilakukan oleh Kaum Stoik. Dalam bidang lekta, atau makna, mereka mempunyai pandangan yang berbeda dengan analisis logika Aristoteles yang kurang sistematis dan sering absurd maknanya. Aristoteles hanya mengakui adanya onoma dan onomata. Semua perubahan dari onoma sesuai dengan fungsinya tidak ia akui. Ia sebut itu kasus saja. Hal ini disebabkan oleh karena dasar logika Aristoteles dengan silogismenya yang hanya menggunakan kode huruf A, B, dan C dan tidak mempergunakan bentuk-bentuk onoma secara praktis dalam contoh. Kaum Stoik mengatakan bahwa kasus itupun Onoma yang sesuai dengan fungsinya. Lalu mereka membedakan atas kasus nominatif – genetif – datif – akusatif dan sebagainya. Hal yang sama juga berlaku bagi Rhema. Walaupun Aristoteles telah membedakan rhema dalam tense, ia tetap berbicara tentang sesuatu yang tidak komplit. Kaum Stoik dalam hal ini membedakan rhema dan kategorrhema, yang dalam pengertian kita sekarang memiliki makna finit dan infinit. (Parera, 1991:38).

(e) Bahasa itu Universal
Kaum Modiste adalah filosof jaman pertengahan yang menaruh perhatian besar pada tata bahasa. Mereka disebut demikian karena ucapan mereka yang terkenal dengan nama De modis Sicnficandi. (Parera, 1991:46). Merekapun mengulang pertentangan lama antara Fisis dan Nomos, antara Analogi dan Anomali. Mereka menerima konsep Analogi karena menurut mereka bahasa bersifat reguler dan universal (Parera, 1991:46).
Keuniversalan bahasa dapat dibuktikan dengan adanya sifat dan ciri-ciri yang sama yang dimiliki oleh bahasa-bahasa di dunia. Karena bahasa itu berupa ujaran, maka ciri-ciri universal dari bahasa yang paling umum dijumpai adalah bahwa bahasa-bahasa di dunia mempunyai bunyi bahasa yang umum yang terdiri dari konsonan dan vokal. Bahwa sebuah kalimat pada bahasa-bahasa di dunia tersusun dari kata-kata yang memiliki fungsi dan peran tertentu. Kesamaan sifat dan ciri inilah yang kemudian dikenal sebagai universalitas bahasa.

C. Peranan Filsafat dalam Mengembangkan Ilmu Bahasa
Umur kajian tentang bahasa itu sudah tua. Dimulai sejak zaman Yunani kuno hingga jaman modern. Setiap periode perkembangan kajian bahasa, filsafat berperan secara signifikan. Pada awalnya, filosoflah yang mengkaji bahasa dan memberikan definisi, kategori, membedakan jenis, bentuk dan sifat, dan perbedaan-perbedaan lainnya. Setelah linguistik mampu berdiri sendiri menjadi satu bidang ilmu yang kukuh, peranan filsafat masih tetap mengakar kuat. Meskipun bukan lagi filosof yang mengkaji bahasa karena telah diambil alih oleh linguis, namun dimensi-dimensi filsafat masih tetap melekat kuat di dalamnya. Hal ini disebabkan oleh masih tetap diyakininya filsafat bahasa sebagai roh dari ilmu bahasa dalam menemukan teori-teori kebahasaan baru oleh para linguis.