ROMI ANDRIAN
(b) Bahasa Sebagai Lambang
(c) Bahasa Adalah Bunyi
(d) Bahasa itu Bermakna
(e) Bahasa itu Universal
A.
Pendahuluan
Kebanyakan
pakar dalam mengupas hubungan ilmu bahasa dan filsafat selalu menempatkan
filsafat kedalam posisi yang prestisius. Hal ini tidaklah aneh mengingat
filsafat adalah roh dari semua ilmu termasuk ilmu bahasa. Kajian bahasa pertama
kalipun justru dilakukan oleh filosof dan bukan oleh ahli bahasa. Pada jaman
dulu, para filosof memecahkan berbagai macam problem filsafat melalui
pendekatan analisis bahasa. Sebagai contoh problem filsafat yang menyangkut
pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan mendasar seperti yang ada, reality,
eksistensi, sensi substansi, materi, bentuk kausalitas, makna pernyataan dan
verifikasinya (Katsoff, 1989:48-63) dan pertanyaan-peranyaan fundamental
lainnya dapat dijelaskan dengan menggunakan analisis data bahasa. Tradisi ini
oleh para ahli sejarah filsafat disebut sebagai Filsafat Analitik, yang
berkembang di Eropa terutama di Inggris abad XX.
Semua
ahli filsafat sepakat bahwa ada hubungan yang sangat erat antara filsafat dan
bahasa terutama yang berhubungan dengan peran pokok filsafat sebagai analisator
konsep-konsep. Konsep-konsep yang dianalisa filsafat memiliki raga kuat karena
berbentuk istilah-istilah bahasa dan karenanya, tidak bisa tidak, filosof harus
memahami makna “apa itu bahasa” yang selalu digunakan dalam memahami
konsep-konsep tersebut.
Sejak zaman
Yunani kuno, sudah muncul paham Phusis yang menyatakan bahwa bahasa bersifat
alamiah (fisei atau fisis), yaitu bahasa mempunyai hubungan dengan asal-usul,
sumber dalam prinsip-prinsip abadi dan tidak dapat diganti di luar manusia itu
sendiri dan karena itu tidak dapat ditolak.
Dengan
demikian dalam bahasa ada keterkaitan antara kata dan alam. Tokoh paham natural
ini diantaranya Cratylus dalam Dialog Pluto (Solikhan, 2008:55)
Paham naturalis
ini mendapat penentangan dari paham Thesis yang berpendapat bahwa bahasa
bersifat konvensi (nomos). Bahasa diperoleh dari hasil-hasil tradisi, kebiasaan
berupa tacit agreement (persetujuan diam). Bahasa bukan pemberian Tuhan,
melainkan bersifat konvensional. Pendapat ini diwakili oleh Hermoganes dalam
Dialog Pluto (Kaelan, 1998:29)
Dikotomi
spekulatif tentang hakikat bahasa fusie dan nomos merupakan pusat perhatian
filosof pada saat itu. Demikian juga dikotomi analogi dan anomali merupakan
diskursus filosofis yang mendasar mengingat bahasa merupakan sarana utama dalam
filsafat terutama dalam logika. Golongan analogi yang dianut kelompok Plato dan
Aristoteles mengatakan bahwa alam ini memiliki keteraturan demikian juga
manusia yang terefleksi dalam bahasa. Oleh karena itu bahasa memiliki
keteraturan dan disusun secara teratur. Sebaliknya, kaum Anomalis berpendapat
bahwa bahasa tidak memiliki keteraturan. Mereka mununjukkan bukti kenyataan
sehari-hari mengapa ada kata yang bersifat sinonim, dan homonim, mengapa ada
unsur kata yang bersifat netral, dan jika bahasa itu bersifat universal
seharusnya kekacauan itu dapat diperbaiki. Dalam pengertian inilah bahasa pada
hakekatnya bersifat alamiah (Parera dalam Solikhan, 2008:
55).
Perbedaan-perbedaan
perspektif tentang bahasa dan segala hal yang berkaitan namun tetap
berada dalam payung bahasa, yang dilakukan oleh para filosof ternyata memiliki
kontribusi yang demikian besar terhadap kemajuan dari ilmu bahasa.
Perbedaan-perbedaan ini memunculkan adanya diskusi, dialog, bahkan debat.
Diskusi, dialog, dan dan debat inilah yang menyuntikkan darah segar pada
para filosof untuk selalu melahirkan inovasi-inovasi dan revisi-revisi
terhadap teori lama yang berkenaan dengan bahasa. Dimulai dengan dimunculkannya
filsafat bahasa oleh para filosof yaitu pengetahuan dan penyelidikan dengan
akal budi mengenai hakikat bahasa, sebab, asal dan hukumnya (yang kemudian
menjadi embrio dari lahirnya ilmu bahasa atau linguistik) (Sallyanti, 2004:1),
maka lahirlah ilmu bahasa atau linguistik yang kita kenal dewasa ini.
Artikel
ini secara khusus berusaha menjelaskan tentang apa kontribusi dari filsafat
dalam mengembangkan linguistik. Untuk mempermudah paparan tersebut, maka
artikel ini disusun menjadi beberapa bagian yaitu: (a) pendahuluan, (b)
hakikat bahasa dalam tinjauan filsafat, (c) peranan filsafat dalam
mengembangkan ilmu bahasa, (d) simpulan dan penutup.
B. Esensi
dan Hakikat Bahasa dalam Tinjauan Filsafat
B.1. Esensi
Bahasa
Orang-orang
Yunani kuno dan orang-orang kuno lainnya mempunya bakat ingin mengetahui
hal-hal yang oleh orang-orang lain dianggap sebagaimana semestinya. Dengan
berani dan gigih, mereka membuat spekulasi mengenai definisi, asal mula,
sejarah, dan struktur bahasa. Pengetahuan tradisional kita mengenai bahasa
sebagian besar adalah berkat mereka (Bloomfield, 1995:2).
Keingin
tahuan ini terlihat dari apa yang disampaikan Herodotus, yang menulis pada abad
kelima sebelum Masehi, ia menuliskan bahwa Raja Psammetichus di Mesir pernah
mengasingkan dua orang bayi yang baru lahir di sebuah taman, untuk mengetahui
mana bangsa dan bahasa tertua di dunia.
Ketika
bayi-bayi tersebut mulai berbicara, mereka mengucapkan kata bekos, yang
ternyata dari bahasa Frigia yang berarti “roti” (Yule, 1985: 2)
Penelitian-penelitian
seperti yang dilakukan Raja Psammetichus ini melahirkan beberapa pengetahuan
baru tentang bahasa, yang kadang dari pengetahuan ini memunculkan adanya
perdebatan. Bagi Raja Psammetichus, berdasarkan hasil penelitiannya ia
menjumpai bahwa ternyata bangsa dan bahasa tertua adalah bangsa dan bahasa
Frigia. Namun bagi peneliti-peneliti kuno lainnya belum tentu demikian. Raja
James IV of Scotland 1500 M berdasarkan hasil penelitiannya yang serupa
menyebutkan bahwa bahasa Ibranilah sebagai bahasa tertua di dunia. (Yule, 1985:
2)
Raja
Psammetichus dan dan Raja James IV tidak memiliki hubungan kekerabatan yang
dekat karena hal itu tidaklah mungkin. Kedua raja tersebut hidup di dua era
berbeda dan di wilayah yang berbeda pula. Psammetichus tinggal di Yunani dan
hidup sebelum masehi sedangkan James IV tinggal di Britania Raya jauh setelah
Masehi. Yang membuat mereka sama adalah, dua tokoh ini dikenal memiliki
ketertarikan kuat terhadap misteri bahasa. Ketertarikan ini muncul akibat dari
kuatnya pengaruh filsafat yang menjadi pegangan hidup mereka.
Beberapa
definisi bahasa tercipta dari hasil pemikiran dan penelitian para filosof kuno
ini. Sebagian besar filosof tersebut sependapat bahwa bahasa adalah sistem
tanda. Dikatakan bahwa manusia hidup dalam tanda-tanda yang mencakup segala
segi kehidupan manusia, misalnya bangunan, kedokteran, kesehatan, geografi, dan
sebagainya. Definisi bahasa yang lain seperti yang diungkapkan Plato lewat
Socrates: “Bahasa adalah pernyataan pikiran seseorang dengan perantaraan
onomata dan rhemata yang merupakan cerminan dari ide seseorang dalam arus udara
lewat mulut”.
B.2
Hakikat Bahasa
Dalam
dialog Cratylusnya, Plato membicarakan asal mula kata, dan khususnya soal
apakah hubungan kata-kata dengan benda yang dirujuknya adalah alami ataukah
hanya merupakan hasil kesepakatan saja. Dialog itu memberikan kepada kita
kilasan pertama ke dalam perselisihan yang telah berlangsung satu abad antara
kaum Analogis dan Anomalis (Bloomfield, 1995:2).
Bagaimanapun
sengitnya perdebatan antara dua kubu tersebut, pemikiran-pemikiran yang muncul
tentang bahasa menyadarkan kepada para filosof bahwa bentuk-bentuk bahasa
berubah dalam perjalanan waktu. Secara perlahan namun pasti, mereka akhirnya
menemukan hakikat sejati dari bahasa yang terefleksikan lewat wujud-wujud dan
perubahannya. Di bawah ini adalah beberapa hakikat bahasa yang telah ditemukan
oleh para filosof. Sebenarnya ada banyak sekali hakikat bahasa yang telah ditemukan,
namun penulis membatasinya menjadi lima saja.
(a) Bahasa
Sebagai Sistem
Hakikat
ini sebenarnya telah diyakini oleh pengikut paham anomalis namun hakikat ini
menjadi jelas setelah Kaum Sofis pada abad ke-5 merumuskan kesistematisan
bahasa secara empirik. Salah satu tokoh dari kaum Sofis adalah Pitagoras. Ia
membedakan tipe-tipe kalimat atas: narasi, pertanyaan, jawaban, perintah,
laporan, doa dan undangan. (Parera, 1991:36-37).
Plato juga
menegaskan kesistematisan bahasa dengan memberikan perbedaan kata dalam Onoma
dan Rhema. Onoma dapat berarti nama atau nomina, dan subyek. Rhema dapat
berarti frasa, verba, dan predikat. Onoma dan Rhema merupakan anggota dari
logos yang berarti kalimat atau frasa atau klausa (Parera, 1991:37).
Ide
bahwa bahasa memiliki sistem juga didukung oleh Aristoteles. Sejalan dengan
pendahulunya Plato, ia tetap membedakan dua kelas yakni Onoma dan Rhema, tetapi
ia menambahkan satu lagi yang disebut Syndesmoi. Syndesmoi ini kemudian
digolongkan ke dalam “penghubung partikel”. Kata-kata lebih banyak bertugas
dalam hubngan sintaksis. Aristoteles selalu bertolak dari logika. Ia memberikan
pengertian, definisi, dan makna dari sudut pandang logika.
Selain
membedakan Onoma, Rhema, dan Syndesmoi, Aristoteles juga membedakan jenis kelamin
kata (Gender). Ia membedakan tiga jenis kelamin kata atas maskulin, feminin dan
neuter atau netral. Ia juga mengakui bahwa rhema menunjukkan pula pada tense
atau waktu, yaitu Rhema dapat menunjukkan apakah pekerjaan telah selesai, belum
selesai dan sebagainya (Parera, 1991:37).
Keyakina
bahwa bahasa merupakan sebuah sistem diyakini kebenaranya hingga sekarang
terutama oleh para ahli linguistik. Banyak aliran-aliran yang pada intinya
menganalisa sistem-sistem dalam bahasa bermunculan dan memperkaya keragaman
linguistik.
(b) Bahasa Sebagai Lambang
Eaerns
Cassirer, seorang sarjana dan seorang filosof mengatakan bahwa manusia adalah
mahluk bersimbol (animal symbolicum). Hampir tidak ada kegiatan yang tidak
terlepas dari simbol atau lambang. Termasuk alat komunikasi verbal yang disebut
bahasa. Satuan-satuan bahasa misalnya kata adalah simbol atau lambang (Chaer,
2007:39). Kalau ide atau konsep untuk menyatakan kematian adalah bendera hitam
(dalam bentuk tanda), dan ide atau konsep ketuhanan dilambangkan dengan gambar
bintang (dalam bentuk gambar), maka lambang-lambang bahasa diwujudkan dalam
bentuk bunyi, yang berupa satuan-satuan bahasa, seperti kata atau gabungan kata
yang sifatnya arbriter. Dalam bahasa Indonesia, binatang berkaki empat yang
bisa dikendarai dilambangkan dengan bunyi [kuda], dalam bahasa Inggris
berupa bunyi yang ditulis horse dan dalam bahasa Belanda berupa bunyi yang
ditulis paard.
(c) Bahasa Adalah Bunyi
Hakikat
bahasa sebagai bunyi di kupas dengan seksama oleh Kaum Stoik. Kaum Stoik merupakan
kelompok filosof atau logikus yang berkembang pada permulaan abad ke-4 SM.
Kontribusi mereka cukup besar dalam menganalisis bahasa, walaupun mereka belum
lepas dari pandangan logika.
Kaum
ini membicarakan bentuk-bentuk bermakna bahasa dengan cara membedakan tiga
aspek utama dari bahasa yaitu (1) tanda atau simbol yang disebut semainon, dan
ini adalah bunyi atau materi bahasa (2) makna, atau apa yang disebut lekton dan
(3) hal-hal eksternal yang disebut benda atau situasi itu atau apa yang disebut
sebagai pragma (Parera, 1991:38).
Kaum ini memiliki ketertarikan yang sangat tinggi pada bunyi atau phone, dan mereka membedakan antara legein, yaitu tutur bunyi yang mungkin merupakan bagian dari fonologi sebuah bahasa namun tidak bermakna, dan propheretai atau ucapan bunyi bahasa yang memiliki makna
Kaum ini memiliki ketertarikan yang sangat tinggi pada bunyi atau phone, dan mereka membedakan antara legein, yaitu tutur bunyi yang mungkin merupakan bagian dari fonologi sebuah bahasa namun tidak bermakna, dan propheretai atau ucapan bunyi bahasa yang memiliki makna
(d) Bahasa itu Bermakna
Penelitian
sitematis tentang konsep ”bahasa itu bermakna” juga dilakukan oleh Kaum
Stoik. Dalam bidang lekta, atau makna, mereka mempunyai pandangan yang berbeda
dengan analisis logika Aristoteles yang kurang sistematis dan sering absurd
maknanya. Aristoteles hanya mengakui adanya onoma dan onomata. Semua perubahan
dari onoma sesuai dengan fungsinya tidak ia akui. Ia sebut itu kasus saja. Hal
ini disebabkan oleh karena dasar logika Aristoteles dengan silogismenya yang
hanya menggunakan kode huruf A, B, dan C dan tidak mempergunakan bentuk-bentuk
onoma secara praktis dalam contoh. Kaum Stoik mengatakan bahwa kasus itupun
Onoma yang sesuai dengan fungsinya. Lalu mereka membedakan atas kasus nominatif
– genetif – datif – akusatif dan sebagainya. Hal yang sama juga berlaku bagi
Rhema. Walaupun Aristoteles telah membedakan rhema dalam tense, ia tetap
berbicara tentang sesuatu yang tidak komplit. Kaum Stoik dalam hal ini
membedakan rhema dan kategorrhema, yang dalam pengertian kita sekarang memiliki
makna finit dan infinit. (Parera, 1991:38).
(e) Bahasa itu Universal
Kaum
Modiste adalah filosof jaman pertengahan yang menaruh perhatian besar pada tata
bahasa. Mereka disebut demikian karena ucapan mereka yang terkenal dengan nama
De modis Sicnficandi. (Parera, 1991:46). Merekapun mengulang pertentangan lama
antara Fisis dan Nomos, antara Analogi dan Anomali. Mereka menerima konsep
Analogi karena menurut mereka bahasa bersifat reguler dan universal (Parera,
1991:46).
Keuniversalan bahasa dapat dibuktikan dengan adanya sifat dan ciri-ciri yang sama yang dimiliki oleh bahasa-bahasa di dunia. Karena bahasa itu berupa ujaran, maka ciri-ciri universal dari bahasa yang paling umum dijumpai adalah bahwa bahasa-bahasa di dunia mempunyai bunyi bahasa yang umum yang terdiri dari konsonan dan vokal. Bahwa sebuah kalimat pada bahasa-bahasa di dunia tersusun dari kata-kata yang memiliki fungsi dan peran tertentu. Kesamaan sifat dan ciri inilah yang kemudian dikenal sebagai universalitas bahasa.
Keuniversalan bahasa dapat dibuktikan dengan adanya sifat dan ciri-ciri yang sama yang dimiliki oleh bahasa-bahasa di dunia. Karena bahasa itu berupa ujaran, maka ciri-ciri universal dari bahasa yang paling umum dijumpai adalah bahwa bahasa-bahasa di dunia mempunyai bunyi bahasa yang umum yang terdiri dari konsonan dan vokal. Bahwa sebuah kalimat pada bahasa-bahasa di dunia tersusun dari kata-kata yang memiliki fungsi dan peran tertentu. Kesamaan sifat dan ciri inilah yang kemudian dikenal sebagai universalitas bahasa.
C. Peranan Filsafat dalam Mengembangkan
Ilmu Bahasa
Umur
kajian tentang bahasa itu sudah tua. Dimulai sejak zaman Yunani kuno hingga
jaman modern. Setiap periode perkembangan kajian bahasa, filsafat berperan
secara signifikan. Pada awalnya, filosoflah yang mengkaji bahasa dan memberikan
definisi, kategori, membedakan jenis, bentuk dan sifat, dan perbedaan-perbedaan
lainnya. Setelah linguistik mampu berdiri sendiri menjadi satu bidang ilmu yang
kukuh, peranan filsafat masih tetap mengakar kuat. Meskipun bukan lagi filosof
yang mengkaji bahasa karena telah diambil alih oleh linguis, namun
dimensi-dimensi filsafat masih tetap melekat kuat di dalamnya. Hal ini
disebabkan oleh masih tetap diyakininya filsafat bahasa sebagai roh dari ilmu
bahasa dalam menemukan teori-teori kebahasaan baru oleh para linguis.